Sabtu, 26 Februari 2011

Perkembangan campursari

 Istilah campursari dalam dunia musik nasional Indonesia mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Kata ”campursari” sendiri, diambil dari kata ”campur” dan ”sari”. Campur lantaran berbaurnya beberapa instrumen alat musik, baik yang tradisional maupun modern, campur aduk jadi satu. Sari berarti eksperimen tadi menghasilkan jenis irama lain dari yang lain, irama yang rancak, enak dinikmati layaknya mengonsumsi sari madu.

Campursari pertama kali dipopulerkan oleh Manthous dengan memasukkan keyboard ke dalam orkestrasi gamelan pada sekitar akhir dekade 1980-an melalui kelompok gamelan "Maju Lancar." Musik garapan Manthous tidak sekedar memadukan musik tradisi Jawa, gamelan, dengan alat musik diatonis gitar, keyboard, dia membuat padanan nada dengan skala diatonis, dengan cara menyetel seluruh gamelan.

Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada suasana rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keyboard dan gitar bas. Kemudian secara pesat masuk unsur-unsur baru seperti langgam Jawa (keroncong) serta akhirnya dangdut.

Kini dikenal bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong (misalnya Kena Goda dari Nurhana), campuran gamelan dan dangdut, serta campuran keroncong dan dangdut (congdut, populer dari lagu-lagu Didi Kempot). Meski perkembangan campursari banyak dikritik oleh para pendukung kemurnian aliran-aliran musik ini, semua pihak sepakat bahwa campursari merevitalisasi musik-musik tradisional di wilayah tanah Jawa.

Memang pada awal kemunculannya seputar 1993, jenis musik campursari banyak diperdebatkan para seniman dan pekerja seni. Ada yang berpendapat, jika seni gado-gado itu dibiarkan tumbuh, sama artinya dengan mencabik-cabik pakem irama musik keroncong. Di sini termasuk jenis-jenis seni keroncong yang di dalamnya ada langgam, stambul, serta keroncong asli sendiri. Pihak lain berargumentasi, kalau tetap berprinsip pada pakem keroncong murni, musik yang satu ini akan semakin dihindari kalangan muda.

Mengacu pada perkembangan kesenian tradisi, seperti wayang kulit, pendapat terakhir ini tidak bisa dibantah. Dengan pembaharuan di sana-sini, ternyata kesenian wayang yang konon peninggalan Sunan Kalijaga tersebut mendapat respons luar biasa, terutama dari generasi muda.

Namun di luar seluruh kritik yang menerpa perkembangan campursari, kegiatan bermusiknya menyelusup jauh ke pelosok, bahkan, konon berhasil mengungguli dangdut. Kalau terbukti benar, hal ini menunjukkan betapa kuat pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari rakyat setempat. Di dalam masa lebih dari seperempat abad, dangdut adalah kekuatan dahsyat yang melanda ke segala penjuru.

Sungguh kekuatan yang luar biasa, namun kini giliran campursari. Pengaruhnya tidak kalah hebat di berbagai komunitas, terutama di tengah masyarakat Jawa. Usut punya usut ternyata ada sebuah alasan kekuatan campursari ini, yakni kebebasan berekspresi di dalamnya. Kebebasan itu tidak mungkin didapat pada pertunjukan seni tradisional semacam wayang kulit atau klenengan. Kebebasan berekspresi itu menyangkut cara membawakan lagu yang begitu pasif pada sajian wayang kulit atau klenengan, sedangkan di musik campursari seorang penyanyi bisa membawakan lagu dengan berdiri sambil bergoyang-goyang.

Maka tidak heran jika campursari kini berkembang dengan pesat. Bukankah hakekat kesenian secara umum adalah medium ekspresi intelektual dan kultural manusia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar